Mohammad Waqid

Seorang Hamba yang mengharap hanya keridhaan Allah SWT. semoga Barokah. Amin Ya Rabb

Rabu, 11 Maret 2015

PENYAKIT ZOONOSIS (BRUCELLOSIS)

1.1  LATAR BELAKANG
Berbagai penyakit yang muncul di masyarakat saat ini banyak berasal dari hewan. Hal ini penting karena penyakit dari hewan tersebut dapat mewabah hingga jangkauan yang semakin  luas. Sehingga diperlukan langkah –langkah terpadu untuk mencegah dan menanggulanginya. Mewabahnya penyakit asal hewan sangat terkait dengan populasi manusia, lingkungan, dan agen penyakit itu sendiri yang dapat berimplikasi pada kemunculan suatu penyakit zoonosis. Penyakit zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Umumnya penyakit zoonosis bersifat fatal baik pada hewan maupun manusia. Penyakit zoonosis menurut agen penyebabnya yaitu zoonosis akibat virus, bakteri, protozoa dan arthropoda, parasit, serta jamur.

Salah satu penyakit zoonosis karena bakteri adalah Brucellosis atau biasa dikenal dengan penyakit keluron. Umumnya penyakit ini banyak menyerang sapi dan menyebabkan abortus (keguguran) sedangkan pada manusia sering menyebabkan gejala – gejala saraf. Sehingga diperlukan langkah-langkah strategis untuk mencegah dan menanggulangi penyebaran penyakit ini.


2.1 PENGERTIAN PENYAKIT ZOONOSIS
Penyakit zoonosis adalah penyakit yang ditularkan oleh hewan ke manusia dan sebaliknya dari manusia ke hewan. Penyakit zoonosis umumnya bersifat fatal dan dapat menimbulkan kematian. Kemunculan tak terduga dari penyakit zoonosis juga memunculkan istilah emerging zoonosis. Istilah ini dapat didefinisikan secara luas sebagai kejadian penyakit zoonosis dengan : 1) agen penyakit yang dikenal dan muncul pada area geografik yang berbeda, 2) agen penyakit telah dikenal atau kerabat dekatnya dan menyerang hewan yang sebelumnya tidak rentan, 3) agen penyakit yang belum dikenal sebelumnya dan terdeteksi untuk pertama kalinya. Sedangkan re-emerging zoonosis adalah penyakit zoonosis yang pernah mewabah dan sudah mengalami penurunan intensitas kejadian namun mulai menunjukkan peningkatan kembali.
Penyakit zoonosis diklasifikasikan dalam beberapa kategori :
a.       Berdasarkan reservoir utama
-          Anthropozoonosis
-          Zooanthroponosis
-          Amphixenosis
b.      Berdasarkan agen penyebab
-          Virus                -  Chlamydia dan Ricketsia
-          Bakteri             -  Parasit
-          Jamur
c.       Berdasarkan cara penularannya
-          Zoonosis langsung
-          Siklo zoonosis
-          Meta zoonosis
-          Saprozoonosis


2.2 ETIOLOGI
Penyakit brucellosis atau penyakit keluron menular disebabkan oleh bakteri Brucella. BakteriBrucella berbentuk kokobasil (short rods) dengan panjang 0,6 – 1,5 µm dan lebar 0,4–0,8 µm, bersifat Gram negatif, non motil, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, dan bersifat aerob. Karena tidak menghasilkan spora, bakteri Brucella mudah dibunuh dibawah sinar matahari namun apabila lingkungan jauh dari jangkauan sinar matahari maka bakteri ini dapat bertahan selama 6 bulan. Terdapat 6 spesies yang saat ini dikenal yaitu : B. melitensis, B. abortus, B. suis, B. neotomae, B. ovis, dan B. canis. Disebut penyakit keluron karena karakteristiknya dapat menyebabkan keguguran/abortion pada hewan bunting (Xavier, 2010).

2.3 MEKANISME PENULARAN PENYAKIT
Reservoir alamiah dari B. abortus adalah sapi, B. suis adalah babi, B. melitensis adalah kambing/domba. Inang alamiah dari B. canis adalah anjing dan B. ovis adalah domba.
a)      Infeksi pada manusia
Manusia dapat terinfeksi secara langsung maupun tidak langsung melalui produk hewan seperti keju dan susu mentah ataupun lewat inhalasi agen melalui udara. Model transmisi dan alur penetrasi tergantung dari epidemiologi wilayah, hewan reservoir, dan kelompok pekerja yang terpapar. Terjadinya transmisi secara kontak diawali pada wilayah yang bersifat enzootik/endemik. Kelompok yang dianggap berisiko terkena adalah pekerja di RPH, pedagang, dan dokter hewan. Infeksi biasanya terjadi saat penanganan fetus atau kontak dengan sekresi vagina, ekskreta, dan karkas yang terinfeksi lalu mikroorganisme, serta melalui kulit yang luka/abrasi.
b)      Infeksi pada sapi
Sumber utama infeksi pada sapi adalah cairan fetus, sisa–sisa setelah melahirkan, dan cairan vagina. Jalur masuk utama infeksi pada sapi adalah melalui oral lewat (pakan dan air yang terkontaminasi), kulit yang luka, inhalasi, dan secara kongenital (fenomena laten) seperti dari induk ke fetus atau melalui air susu induk. Namun pada jalur kongenital masih harus dievaluasi lebih mendalam.
c)      Infeksi pada babi
Prinsip sumber infeksi sama seperti sapi. Rute infeksi melalui kontak seksual secara alamiah dimana pejantan yang terinfeksi brucellosis mengawini betina sehat, melalui rute oral (digesti) dari berbagai macam makanan yang diberikan kepada babi, secara inhalasi dan melaui konjungtiva.

2.4 KEJADIAN PADA MANUSIA DAN HEWAN
A.      PADA MANUSIA
Manusia merupakan hospes aksidental dan tidak menularkan pada manusia lainnya. Prevalensi infeksi pada hewan–hewan reservoir merupakan kunci terjadinya infeksi pada manusia. Manusia dapat tertular oleh B. melitensisB. suisB. abortus, dan B. canis. Penularan B. abortus dan B. suis biasanya mempengaruhi kelompok pekerja di peternakan sapi namun berbeda halnya dengan B. melitensis lebih sering terjadi pada populasi yang lebih luas terutama pada kambing, domba, atau kedua–duanya. Sumber penularan berupa keluron/lendir, air susu, kemih, dan tinja. Penularan terjadi melalui oral (makanan/minuman yang terkontaminasi), lendir mata, inhalasi, dan kulit yang terluka. Bakteri umumnya memperbanyak diri pada kelenjar limfe di kepala dan usus.
Kasus terbesar yang pernah dilaporkan di negara Argentina, Meksiko, dan Peru. Dari keempat strainBrucella yang dapat menginfeksi manusia, B. melitensis lah yang paling bersifat patogen dan paling cepat menulari manusia. Pada umumnya masa inkubasi penyakit antara 1 – 3 minggu. Penyakit ini bersifat septikemik dengan kematian yang tiba – tiba atau gejala awalnya tidak diketahui secara pasti yang disertai oleh demam. Gejala brucellosis bersifat akut yang gejalanya meliputi demam undulan merupakan gejala khas karena suhu tubuh naik turun dan bervariasi hingga 40°C) , berkeringat, dan badan bau busuk di malam hari. Gejala umum lainnya seperti susah tidur, impotent, sakit kepala, anoreksia, sembelit, dan arthralgia. Brucellosis juga berpengaruh pada sistem saraf. Banyak pasien juga mengalami pembesaran getah bening (splenomegali) dan hepatomegali. Komplikasi brucellosis dapat menimbulkan masalah serius seperti encephalitismeningen peripheral neuritis, spondilitis, supuratif arthritis, dan endokarditis. Bentuk kronis brucellosis dapat muncul dan disertai reaksi hipersensitivitas. Pada daerah enzootik, kasus brucellosis dapat bersifat asimptomatik.

http://2.bp.blogspot.com/-qf62anSdDlI/U4sNW2zHRAI/AAAAAAAAAJI/bw6eogQwiJc/s1600/ba+1.jpg

Gambar 1. Penularan brucellosis dari hewan ke manusia

B.       PADA HEWAN
Brucellosis pada hewan hampir ditemukan diseluruh dunia namun infeksinya telah dibasmi hampir dibanyak negara Finlandia, Norwegia, Swedia, Denmark, Belanda, Belgia, Swiss, Jerman, Austria, dll. Prevalensi brucellosis cukup tinggi pada sapi perah sekitar 1–40%. Brucellosis pada babi jarang terjadi dan muncul secara sporadis. Di negara Eropa memperlihatkan adanya hubungan epidemiologi penyakit dengan brucellosis oleh B. suis biotipe 2 pada kelinci hutan (hare). Di negara – negara  Amerika Latin penyakit ini pada babi bersifat enzootik/endemik. Brucellosis pada kambing dan domba merupakan masalah penting terutama pada daerah yang memiliki populasi kambing–domba yang cukup besar seperti negara – negara Amerika Latin. Domba yang terserang brucellosis memperlihatkan epididimitis dan spondilitis yang pernah dikonfirmasi di New Zeeland, Australia, dan Eropa.
Penularan yang terjadi pada hewan umumnya sama dengan manusia yaitu melalui per oral, lendir mata, inhalasi, dan kulit yang terluka. Setelah berhasil memasuki tubuh inang, infeksi dapat bersifat terlokalisir seperti di hati, limpa, dan sumsum tulang belakang. Dan dapat bersifat menyebar sehingga menyebabkan mastitis. Namun gejala yang ditimbulkan umumnya terjadi pada hewan yang telah dewasa kelamin.

Adapun gejala – gejala penyakit brucellosis pada beberapa spesies hewan meliputi :
1.      Sapi
Patogen utama pada sapi adalah B. abortus namun sapi juga dapat tertular oleh B. suis danB. melitensis bilamana mendapat rumput atau fasilitas yang berasal dari babi, kambing, atau domba yang tertular. Masa inkubasi sangat bervariasi dan berproporsi terbalik dengan perkembangan janin yaitu semakin berkembang kehamilan semakin pendek masa inkubasinya. Gejala utama pada sapi betina yang khas adalah keguguran (abortus) pada umur kebuntingan bulan ke-5 sampai ke-9 atau kelahiran pedet prematur. Abortus biasanya diikuti dengan retensi plasenta atau metritis yang akan menyebabkan infertilitas permanen. Jika tidak terjadi abortus, maka kuman Brucella dapat disekresikan ke plasenta, cairan fetus, leleran vagina, kelenjar getah bening, dan kelenjar susu. Sedangkan pada sapi jantan biasanya terlihat dengan membesarnya salah satu atau kedua testis disertai dengan penurunan libido dan infertilitas. Terkadang testis juga mengalami atrofi, vesiculitis seminal, ampulitis, higroma, dan arthritis. Sementara pedet dapat terinfeksi secara vertikal melalui air susu induk yang menderita mastitis.
Awalnya Brucella memperbanyak diri pada limfonodus regional lalu bersama limfe dan darah (bakterimia) menyebar ke seluruh organ. Secara umum Brucella dapat ditemukan pada limfonodus, uterus, ambing, limfa, hati, dan pada sapi jantan ditemukan di semen. Sejumlah besar erithritol yaitu karbohidrat penstimuli perkembangan Brucella dapat ditemukan pada plasenta sehingga menyebabkan plasentitis dan nekrose kotiledon. Kepekaan sapi terhadap infeksi tergantung jenis kelamin dan usia ternak. Pada fase akut dari penyakit ini ditandai dengan tingginya kejadian abortus serta tingginya tingkat reaktor terhadap uji aglutinasi. Hewan dengan kategori sangat peka yaitu sapi betina dewasa yang pertama kali bunting dan beberapa kali bunting. Sebagian besar sapi yang tertular brucellosis menunjukkan titer aglutinasi positif selama beberapa tahun dan setelah 1 - 2 kali abortus, maka sapi – sapi tersebut bisa kembali normal dan dapat memproduksi susu secara normal.

http://4.bp.blogspot.com/-K_EDoZVw43U/U4sOKRLHAeI/AAAAAAAAAJQ/L6Mxz6IPuXw/s1600/ba+2.png

Gambar 2. Kuman Brucella yang ditemukan di semen (Xavier, 2010)



2.      Babi
Patogen utama pada babi adalah B. suisB. suis memiliki 3 biotipe yaitu 1, 2, dan 3. Infeksi yang disebabkan biotipe 1 dan 3 menyebar secara langsung dan tidak langsung dari babi ke babi. Sedangkan biotipe 2 (biotipe Danish) sering ke babi melalui kelinci hutan (Lepus europaeus). Babi juga dapat terinfeksi B. abortus namun bersifat asimptomatik dan hanya terbatas pada daerah kepala dan leher. Apabila brucellosis menyerang peternakan babi sehat maka akan muncul gejala : abortus, infertilitas, anak babi lahir lemah, orchitis, epididimitis, arthritis, abses, dan spondylitis. Infeksi umumnya bersifat sementara pada babi yang disapih sekalipun dapat memunculkan terjadinya hewan karier.

3.      Kambing
Patogen utama pada kambing adalah B. melitensis. Umumnya gejala sama pada hewan lainnya meliputi hygroma, arthritis, spondylitis, dan orchitis. Ada juga gejala utamanya adalah abortus pada bulan ketiga atau keempat masa kehamilan. Pada kambing betina dapat menyebabkan mastitis sebagai tanda awal terjadinya infeksi brucella pada suatu kelompok. Pada infeksi kronis umumnya penyakit tidak terlalu tampak dan secara patologi anatomi tidak terbukti walaupun patogen berhasil diisolasi.

4.      Domba
Brucellosis pada domba jantan dibedakan menjadi 2 yaitu brucellosis klasik dan brucellosis epididymitis. Brucellosis klasik disebabkan oleh B. melitensis yang banyak menyerang domba di wilayah penggembalaan secara intensif. Infeksi biasanya terjadi secara spontan dan tidak ditransmisikan dari domba ke domba lainnya sedangkan brucellosis epididymitis disebabkan oleh B. suis. Tanda klinis berupa lesi organ genital, abortus atau kematian neonatal, epididymitis unulateral atau bilateral, atrofi testis, dan spondilitis. Pemeriksaan laboratorium brucellosis pada domba dapat memakai sampel semen dan urin.

5.      Kuda
Patogen yang menginfeksi adalah B. abortus dan B. suis. Biasanya penyakit ini bermanifestasi dalam bentuk fistulous bursitis “pool evil” dan “fistulus withers”. Gejala abortus jarang terjadi meskipun pada feses ditemukan agen infeksi tapi gejala biasanya berupa spondilitis. Manusia dapat terinfeksi karana ada lesi – lesi yang terbuka. Pada umumnya kuda tahan terhadap infeksi dan penularan penyakti dari kuda ke kuda belum diketahui.

6.      Anjing dan kucing
Kasus brucellosis pada anjing bersifat sporadis disebabkan oleh B. abortus, B. suis, dan B. melitensis. Penularan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi cairan fetus dan air susu. Gejala bisa bersifat subkilnis namun juga dapat muncul gejala seperti demam, kekurusan, ochitis, anestrus, arthritis, dan abortus. Pada kucing, penyakit brucellosis bersifat epizootic yang disebabkan oleh B. canis. Ciri – ciri penyakit pada kucing demam panjang, kematian embrionik, aborsi, prostatitis, epididymitis, scrotal dermatitis, lymphadenitis, dan splenitis. Abortus muncul pada 50 hari masa kebuntingan. Namun meskipun dapat terinfeksiBrucella, kucing cenderung resisten dan jarang dilaporkan adanya kasus brucellosis pada kucing.


7.      Mamalia domestik lainnya
Kerbau peliharan (Bubalus bubalis) dan lembu (Bos grunniens) dapat terinfeksi B. abortusdengan gejala mirip brucellosis pada sapi. Selain itu, unta – unta Camelus bactrianus, untaCamelus dromedaries, dan unta di Amerika juga dapat terinfeksi B. abortus. Pada alpca (Lama pacos) di dataran tinggi (altiplano) di wilayah Peru dapat terinfeksi brucellosis yang disebabkan oleh B. abortus.

8.      Hewan liar
Brucella secara luas ada di hewan – hewan liar seperti tikus padang pasir di Amerika (Neotoma lepida) sebagai reservoir B. neotomae, kelinci hutan (Lepus europaeus) sebagai reservoir B. suis biotipe 2, caribou (Rangifer caribou) sebagai reservoir B. suis tipe 4, rubah (Dusicyon gymnocercus) dan Grison (Galictis furaxeuropaeus) yang dapat terinfeksi B. abortus biotipe 1 dan B. suis biotipe 1. Karnivora dapat tertular karena memakan fetus setelah kelahiran.

9.      Unggas
Gejala yang muncul pada infeksi brucellosis pada ayam berupa berat badan menurun, penurunan produksi telur, dan diare. Perjalanan penyakit brucellosis pada unggas sangat akut. Selain ditemukan pada unggas, Brucella juga pernah diisolasi dari spesies burung liar seperti korvids (Corvus cornix dan Tripanscorax fragilecus).

2.5 PENGOBATAN
Secara umum pengobatan untuk penyakit brucellosis pada ternak tidak disarankan karena penyakit bersifat persisten dimana bakteri adalah bakteri intraseluler, metabolisme hewan tertular akan lambat, dan penyakit menghasilkan granuloma sehingga menghambat masuknya obat. Kalaupun dilakukan pengobatan maka dapat diberikan antibiotik streptomisin, doksisiklin, dan rifampisin. Namun dengan syarat diberikan dalam jangka waktu lama dan tidak boleh terputus rata – rata selama 6 minggu. Namun dalam beberapa kasus, penyakit brucellosis dapat sembuh sendiri setelah 1 – 2 kali mengalami abortus
Pada orang dewasa dan anak diatas umur 8 tahun, antibiotika yang dapat diberikan adalah doksisiklin dan rifampisin selama 6 – 8 minggu, sedangkan untuk anak dibawah 8 tahun sebaiknya diberikan rifampisin dan trimethroprim-sulfamethoxazole selama 6 minggu. Penderita brucellosis dengan spondilitis direkomendasikan aminoglikosida selama 2 – 3 minggu lalu diikuti dengan doksisiklin dan rifampisin selama 6 minggu.

2.6 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
Karena tidak efektifnya tindakan pengobatan, maka sangat disarankan tindakan pencegahan yang meliputi :
a)      Melakukan kontrol dan eradikasi terhadap hewan reservoir. Ternak yang didiagnosis brucellosis harus segera dipisahkan dipisahkan dan jika ada kejadian abortus, fetus, dan membran fetus harus segera dikirim ke laboratorium untuk diuji. Kemudain tempat didesinfeksi dan semua material terkontaminasi harus dibakar.
b)   Mengkonsumsi produk asal hewan yang higienis dan terjamin mutu seperti susu yang dipasteurisasi
c)      Menggunakan perlengkapan kerja sesuai standar keamanan dan bekerja dibawah pengawasan dokter hewan pada kelompok rawan infeksi seperti peternak sapi, pekerja RPH, dan dokter hewan itu sendiri.
d)    Vaksinasi kepada kelompok rawan tertular seperti dokter hewan, pekerja kandang, pemerah susu, dan pekerja di RPH.
e)      Vaksinasi pada daerah endemis (prevalensi <2%)  serta melakukan pengujian dan pemotongan (test and slaughter) pada daerah dengan prevalensi > 2%. Vaksin menggunakan strain 19 atau strain 45/20. Vaksinasi tidak berlaku untuk sapi betina bunting. Vaksinasi pada sapi betina diatas umur 4 bulan sedangkan vaksinasi tidak dilakukan pada sapi jantan karena dapat menurunkan fertilitas
f)       Pada daerah yang bebas brucellosis (seperti Bali dan Lombok) melakukan lalu lintas pada ternak secara ketat.



DAFTAR PUSTAKA

Noor, S. M. 2006. Brucellosis: Penyakit Zoonosis Yang Belum Banyak Dikenal Di Indonesia. Balai Penelitian Veteriner Bogor: Bogor

Seleem, M. N. 2010. Brucellosis: A re-emerging zoonosis. The Institute for Critical Technology and Applied Science, Virginia Polytechnic Institute and State University: Blacksburg.

Setiawan, E. D. 1991. Brucellosis Pada Sapi. Balai Penelitian Veteriner Bogor: Bogor

Xavier, M. N. 2010. Pathogenesis of Brucella spp. Departamento de Clínica e Cirurgia Veterinária, Universidade Federal de Minas Gerais: Brazil


Rabu, 26 Oktober 2011

ppt

pemamfaatab limbah nanas

PENGGUNAAN LIMBAH NANAS (Ananas comosus (L.) Merr) SEBAGAI FEED SUPLEMENT PAKAN TERNAK RUMINANSIA
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Nutrisi Ternak Ruminansia
Diampu Oleh : Prof. Dr. Ir. Siti Chuzaemi, MS




OLEH:
NAMA MOH. WAQID
NIM 105050113111035
KELAS A




FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Penyediaan hijauan di Indonesia masih menjadi masalah, terutama pada musim kemarau serta daerah yang penduduknya relative padat. Sehingga mempengaruhi sulitnya usaha peternakan mengalami perkembangan. Kondisi tersebut di akibtakan oleh masalah pakan penyediaan pakan dengan kualitas, kuantitas dan kontinuitas yang belum mencukupi. Penggunanan bahan pakan (inkonvensional) alternative merupakan salah satu alternative pemecahan masalah tersebut, seperti penggunaan limbah pertanian maupun industry pertanian.
Usaha ternak ruminansia sebagai salah satu sumber protein hewani asal daging serta susu sangat tergantung akan asupan bahan pakan yang tersedia dan memiliki kualitas yang relative baik bagi perkembangan ternak. Pakan sampai saat ini menyumbang 70% dari total pembiayaan usaha ternak. Usaha peternakan yang telah intensif pun kebanyakan masih mengandalkan sumber pakan yang biasa digunakan sejak dulu. Inovasi untuk mendapatkan sumber pakan baru bagi ternak ruminansia mutlak diperlukan. Peningkatan produksi ternak ruminansia memerlukan penyediaan jumlah pakan dalam jumlah besar, terutama pakan berserat kasar (roughage) yang murah. Perluasan areal untuk penanaman pakan ternak akan semakin terbatas, terutama pada daerah padat penduduk. Disamping itu penanaman pakan ternak menghadapi beberapa kendala yaitu :
• Memerlukan investasi lahan yang cukup mahal,
• Pemeliharaan tanaman yang tidak murah,
• Pengangkutan hijauan ke farm yang kontinyu (tiap hari),
• Hasil panen yang fluktuatif (tergantung musim), dan
• Proses Penyimpanan yang juga memerlukan biaya yang relatif mahal (kebanyakan disimpan dalam bentuk silase).
Hasil intensifikasi tanaman pangan tidak hanya mengahsilkan bahan pangan, tetapi juga menghasilkan limbah berserat yang melimpah sehingga integrasi antara tanaman pangan dengan ternak merupakan suatu alternatif untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak.
Menurut Devendra (1987), manyebutkan bahwa pengembangan penggunaan limbah yang berasal dari agroindustri dan bahan pakan nonkonvensional sangat penting dillakukan karena dapat digunakan sebagai substitusi kekurangan hijauan maupun sebagai pengganti hijauan, salah satu limbah pertanian yang memiliki potensi besar yaitu limbah nanas.( Hutagulang et al, 1978).
Pemamfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan satu alternative bijaksana dalam upaya memenuhi kebutuhan nutrisi bagi ternak. Dua aspek yang terkait dengan pemamfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak adalah ketersediaan bahan baku penyusun ransum bagi ternak dengan nilai ekonomis yang tinggi dan membantu mengurang pencemaran lingkungan.

1.2. Dasar Masalah
a. Sekilas tentang buah nanas?
b. Bagaimana potensi pemanfaatan limbah nanas sebagai sumber pakan alternatif ( nonkonvensional ) bagi ternak ruminansia?
c. Bagaimanakah teknologi pengolahan limbah nanas sebagai bahan pakan ternak ruminansia?
d. Bagaimana alur serta proses pengolahan limbah Nanas menjadi bahan pakan ternak?
e. Bagaimana batasan penggunaan limbah nanas dalam ransum ternak ruminansia?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini untuk mengetahui potensi limbah nanas sebagai bahan pakan ternak ruminansia, teknologi pengolahan limbah nanas menjadi bahan pakan ternak, alur pembuatan dan proses pengolahan limbah nanas menjadi bahan pakan ternak ruminansia serta mengethaui batasab penggunaan limbah nanas dalam ransum ruminansia.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sekilas Tentang Buah Nanas
Nanas merupakan tanaman buah berupa semak dengan daging buah berwarna kuning. Kandungan air yang dimiliki buah nanas adalah 90%. Nanas kaya akan Kalium, Kalsium, lodium, Sulfur, Khlor, Asam, Biotin, Vitamin B12, Vitamin E serta Enzim Bromelin. Dalam bahasa Inggris, nanas disebut pineapple yang berasal dari persamaan bentuk buah pohon pinus yaitu pine-cone (biji/buah cemara). Sebutan ini pertama kali tercatat pada 1398, yang asalnya dulu digunakan untuk menjelaskan organ reproduksi dari pohon conifer (sekarang disebutpine-cone). Ketika bangsa Eropa melakukan eksplorasi laut (menjelajah dunia) maka ditemukanlah buah tropikal ini, bangsa Eropa menyebutnya “pineapples” (kata ini tercatat pada 1664). Dalam bahasa ilmiah, nama dari nanas adalah Ananas Comosus.
Produktivitas ternak sangat di pengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan. Kondisi optomim pertumbuhan ternak tidak akan tercapai dengan hanya diberikan rumput saja. Penambahan zat gizi dalam bentuk bahan penguat atau hijauan yang mengandung protein tinggi, sehingga harus ada pencampuran dengan leguminosa. Karena semakin berfariasi ransum yang diberikan akan menambah konsumsi ternak terhadap bahan pakan serta dapat menyempurnakan kandungan nutrisi. Namun, hal yang perlu di perhatikan adanya kandungan metabolit sekunder ( zat anti nutrisi) yang dapat mempengaruhi kuantitas maupun batasan penggunaan dalam ransum.
Salah satu cara dalam mengatasi kekurangan hijauan adalah dengan memamfaatkan limbah pertanian sebagai pengganti hijauan. Menurut devendra (1987), menyebutkan bahwa pengembangan penggunaan limbah yang berasal dari agroindustri dan bahan pakan nonkonvnsional sangat penting dilakukan. Salah satu limbah yang memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai bahan pakan alternative adalah limbah nanas. Limbah nanas merupakan sumber energy yang potensial, karena kandungan karbohidratnya yang tinggi, yaitu 71,6% bahan ekstrak tanpa N (BETN) dan 9,35 % serat kasar. (Senik, 1978). Produksi limbah nanas yang di hasilkan dalam industry pengalengan nanas sangat besar. Tiap hektar lahan yang digunakan menghasilkan sekitar 14 ton buah, dan sekitar 60-80% di buang sebagai limbah. (Hutagulang et al, 1978).
Menurut data dari badan penelitian dan pengembangan pertanian, departemen pertanian (2009), menyebutkan bahwa kandungan nutrisi buah nanas terdiri dari bahan kering 54,2%, bahan organic 91,9%, abu 8,1%, NDF 57,3%, ADF 31, 1%, energy kasar 4481 kkal/kgBK serta energy cerna 2120 kkal/kgBK.
Limbah nanas mengandung serat (NDF) yang relative tinggi 57, 3%, sedangkan protein kasar termasuk rendah yaitu hany 3,5%. Oleh Karena itu potensi penggunaan nanas bukan sebagai komponen penyusun konsentrat, namun lebih sebagai pakan dasar penyusun ransum. Limbah nanas yang telah dikeringkan dapat digunakan langsung sebagai bahan pakan dasar. Sedangkan bila digunakan sebagai pakan dasar dalam pakan komplit limbah harus digiling lebih dahulu. Sebagai pakan dasar limbah nanas diharapkan dapat meminimalisir ketergantungan akan pengadaan akan pengadaan hijauan pakan bagi kebutuhan ternak.

2.2. Potensi Pemamfaatan Limbah Nanas Sebagai Bahan Pakan Alternative
Produksi buah nanas secara nasional mencapai 702 ton pertahun dan sebagian besar disumbang oleh lima daerah utama penghasl nanas yaitu sumatera utara, sumatera selatan, lampung, jawa barat dan jawa timur. Potensi tanaman nanas sebagai sumber bahan pakan ternak dimungkinkan, apabila terdapat industry yang akan mengolah buah nanas menjadi produk hasil olahan berupa sari nanas. Tingkat rendemen sekitar 15%, atau dihasilkan produk limbah berupa campuran kulit dan serat perasan daging buah sebesar 85%. Walaupun tidak seluruh produksi tanaman nanas digunakan untuk memenuhi kebutuhan pabrik pengolah yang ada , secara potensi terdapat 596 ribu ton pertahun limbah segar nanas yang dapat dimamfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak. Bila dikonversikan kedalam kedalam bahan kering dengan kadar air 24% , maka terdapat potensi sebesar 143 ribu ton pertahun limbah nanas kering. (Poerwanto, 2005)
Menurut Winarno (1993) bromelin merupakan enzim protease yang dapat menghirolisis protein. Enzim ini mudah diperoleh karena tanamannya dapat berbuah sepanjang tahun tanpa tergantung oleh musim. Buah nanas kaya akan enzim bromelin yang berguna untuk melegakan tenggorokan dan membantu pencernaan. Enzim bromelain mencerna protein di dalam makanan dan menyiapkannya agar mudah diserap tubuh. Bromelin membantu proses penyembuhan luka dan mengurangi pembengkakan atau peradangan di dalam tubuh. Nanas adalah pilihan yang baik bagi pasien sebelum dan sesudah menjalani operasi. Menurut Hero (2008) selama 5 tahun terakhir tahun 2000 sampai 2005 perkembangan produksi nanas Indonesia rata-rata sebesar 6.145.382 ton.

2.3. Teknologi Pengolahan Limbah Nanas
Tehnologi pengolahan limbah nanas untuk menghasilkan bahan pakan ternak kebanyakan dilakukan dengan cara pengeringan dikarenakan mengandung air dalam jumlah besar, sehingga membutuhkan pengeringan secara intensif dan cepat untuk menghindari kerusakan bahan pakan. Namun, limbah nanas dapat juga diproses dengan menggunakan tehnologi fermentasi untuk menghasilkan produk silase limbah nanas. Hal ini dimungkinkan karena kandungan air sebesar 75% sesuai proses pembuatan silase (MC Donald, 1981). Tehnologi ini dapat dapat mengatasi masalah cepatnya limbah mengalami kerusakan apabila todak segera di keringan dengan demikian pengolahan limbah menjadi silase dapat menghindari proses penggilingan maupun penggilingan, karena silase limbah dapat langsung digunakan sebagai bahan pakan dasar. Hal ini dengan sendirinya berpotensi untuk mengurangi biaya pengolahan secara signifikan , walaupun untuk mengolah limbah menjadi bentuk silase juga membutuhkan biaya, antara lain untuk pembuatan silo dan bahan aditif. Diperlukan analisis efisiensi ekonomis untuk mengetahui proses pengolahan yang paling optimal dalam memamfaatkan limbah nanas tersebut yang hasilnya ditentukan oleh skala produksi.

2.4. Alur Pembuatan Serta Proses Pengolahan Limbah Nanas
Alur pembuatan limbah nanas yaitu :
Sumber : simon p. ginting dkk (2009), poerwanto (2005)









Buah nanas
(1000 kg)





Sari Nanas
(150 kg)



Kulit SPDB (850 kg)


Fermentasi



Pengeringan




Penggilingan












Kulit-SPDB (204kg)




Kulit-SPDB


Pengganti Rumput
(Pakan Komplit)

Silase Kulit-SPDB (850 kg)









Pakan Dasar
(pengganti Rumput
Proses pengolahan limbah nanas menjadi bahan pakan ternak , yaitu memiliki tiga cara yang meliputi :
a. pengeringan, kulit buah dikeringkan untuk mendapatkan kulit buah kering dangan kadar air 13% kering matahari membutuhkan waktu 3-4 jam.
b. Penggilingan, kulit buah yang telah kering digiling untuk menghasilkna tepung atau remah kulit buah yang lebih baik dibandingkan dengan tepung untuk memberi efek positif terhadap rumen,
c. Pencampuran, tepung atau remah kulit nanas kering dapat digunakan sebagai komponen pakan konsentrat ataupun pakan komplit.
Penggunaan limbah nanas sebagai bahan pakan ternak dapat digunakan sebagai sumber energy untuk kebutuhan ternak ternak ruminansia seperti kambing sedangkan penggunaannya dalam bentuk komponen konsentrat, maupun pakan komplit. Melalui data yang didapat dari departemen pertanian (2009) menyebutkan bahwa pertambahan bobot badan hewan percobaan termasuk sedang dengan konversi pakan 62 sampai 66 g, dengan konversi pakan antara 8,6- 12,2. Pertambahan bobot badan cenderung menurun dan konversi pakan cenderung semakin tinggi dengan meningkatkan taraf subtitusi hijauan dengan limbah nanas. Oleh Karena itu, taraf penggunaan limbah nanas untuk menstubsitusi hijauan perlu di tentukan perlu dipertimbangkan berdasrkan optima biologis maupun optima ekonomisnya. Adanya potensi limbah nanas untuk mensubtitusi sebagian atau seluruh komponen hijauaj dalam pakan merupakan “Nilai Nutrisi” yang dibutuhkan dalam mengembangkan system integrasi produksi ternak dengan tanaman nanas.

2.5. Batasan Penggunaan Limbah Nanas Dalam Ransum Ruminansia
Sebagai bahan pakan kulit buah nanas dapat digunakan sebanyak 10-20% dalam pakan. Penggunaan lebih 20% dapat menurunkan bobot badan. Menurut junior et al (2005), mengungkapkan bahwa limbah hasil pengolahan buah-buahan berpotnsi digunakan sebagai bahan pakan ternak ruminansia. Hasil penelitian Kellens et al (1979), menunjukkan bahwa limbah nanas mempunyai potensi besar untuk digunakan sebagai pakan ruminansia ketika disuplementasi oleh protein dan mineral. Limbah nanas beupa silase dan potongan hijauan dapat memberikan memberikan peningkatan bobot badan mencapai 0,91 kg/hari. Selanjutnya Corella et al (2006), menyebutkan bahwa penggunaan limbah nanas yang sudah dikeringkan tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap terhadap kecernaan bahan kering, protein kasar dan Neutral Detergent Fiber (NDF). Selain itu Jetana et al (2008) meneliti penggunaan silase limbah nanas pada ternak kerbau menyimpulkan bahwa pada imbangan silase limbah nanas dengan konsentrat sebesar 40:60 menghasilkan efisiensi dalam hal eksresi turunan purin dan urinper kg bahan organic tercerna yang dikonsumsi. Ginting et al (2005) menyebutkan bahwa salah satu factor pembatas dalam penggunaan limbah nanas sebagai pakan adalah kendungan protein dan NDF yang rendah sehingga disarankan penggunaannya tidak dalam bentuk tunggal. Selanjutnya, Ginting et al (2007) menyebutkan bahwa penggunaan silase limbah nanas dapat mencapai 75% dalam ransum ketika dikombinasikan dengan konsentrat.
Table penggunaann serta konversi pakan limbah nanas
penggunaan Taraf (%) PBBH (g) KP
Komponen konsentat 15-20 60-80 10-14
Komponen pakan komplit 10-15 80-105 8-10
Keterangan : PBBH : Pertambahan Bobot Badan Harian ,
KP : Konversi Pakan ( Konsumsi/ PBBH)
Dalam penelitian Makruf Tafsin Dkk (2008) tentang pemamfaatan limbah nanas yang digunakan sebagai pensubstitusi campuran rumput gajah dengan rumput kaliandra (60:40) terhadap nilai kecernaan dan Rasio Digestible Nutrient (TDN) domba local (ruminansia), menunjukkan bahwa kecernaan protein kasar mempunyai kecenderungan yang menurun dengan menggunakan limbah nanas lebih dari 10%. Kecernaan protein kasar erat kaitannya dengan keseimbangan zat makanan dalam ransum, terutama keseimbangan protein dan karbohidrat yang mudah dicerna. Keseimbangan tersebut akan mempengaruhi pola fermentasi di dalam rumen. Menurut Arora (1989), makanan yang kandungan karbohidrat mudah dicernanya tinggi akan memerlukan nitrogen (protein kasar)yang lebih tinggi untuk pertumbuhan optimum mikroorganisme. Sedangkan kecernaan serat kasar mengalami nilai yang lebih rendah. Hal ini erat kaitannya dengan dengan kandungan protein kasar yang rendah dalam ransum. Menurut Mc Donald et al (1995), protein kasar yang rendah akan menghambat mikroflora dan mikrofauna , dan akibatnya kemampuan mikroorganisme untuk mencrna serat kasar akan berkurang.
Adapun dalam pengamatan nilai kecernaan terhadap Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) menunjukkan hasil yang cukup baik dimana teradi peningkatan daya cerna sampai 40%. Pemberian ransum dengan serat kasar yang rendah secara kontinyu dapat mengadaptasikan ternak ruminansia terhadap karbohidrat yang mudah dicerna selain itu bakteri yang merombaknya juga meningkat. (Arora, 1989). Sementara nilai TDN ransum meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan limbah nanas sampai 40%. Hal ini disebabkan karena meningkatnya nilai BETN dapat dicerna walaupun nilai protein dan serat kasar menurun. Penggunaan limbah nanas sebanyak 50% menunjukkan nilai TDN yang lebih rendah dibanding dengan menggunakan limbah nanas 40%. Hal ini disebabkan penggunaan limbah nanas dapat meningkatkan kandungan karbohidrat yang mudah dicerna sehingga berakibat menurunnya kecernaan zat makanan terutama untuk protein kasar dan serat kasar. Pada penggunaan limbah nanas 50%, nilain serat kasar dan protein dapat dicerna sudah sangat rendah, sehingga nilai TDN ransum menurun. (Makruf Tafsin dkk, 2008)