Mohammad Waqid
Seorang Hamba yang mengharap hanya keridhaan Allah SWT. semoga Barokah. Amin Ya Rabb
Mohammad Waqid
Seorang Hamba yang mengharap hanya keridhaan Allah SWT. semoga Barokah. Amin Ya Rabb
Minggu, 24 Maret 2019
Kamis, 18 Oktober 2018
Abstrak terkait salah satu hasil penelitian Sustainable Livelihood Frmaework
https://docs.google.com/document/d/1662bAO016CITbnNvwT9eUczn-6lD78zL/view?usp=sharing
Rabu, 11 Maret 2015
PENYAKIT ZOONOSIS (BRUCELLOSIS)
1.1 LATAR BELAKANG
Berbagai penyakit yang
muncul di masyarakat saat ini banyak berasal dari hewan. Hal ini penting karena
penyakit dari hewan tersebut dapat mewabah hingga jangkauan yang semakin luas. Sehingga diperlukan langkah –langkah
terpadu untuk mencegah dan menanggulanginya. Mewabahnya penyakit asal hewan sangat
terkait dengan populasi manusia, lingkungan, dan agen penyakit itu sendiri yang
dapat berimplikasi pada kemunculan suatu penyakit zoonosis. Penyakit zoonosis
adalah penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Umumnya
penyakit zoonosis bersifat fatal baik pada hewan maupun manusia. Penyakit
zoonosis menurut agen penyebabnya yaitu zoonosis akibat virus, bakteri,
protozoa dan arthropoda, parasit, serta jamur.
Salah satu penyakit
zoonosis karena bakteri adalah Brucellosis atau biasa dikenal dengan penyakit
keluron. Umumnya penyakit ini banyak menyerang sapi dan menyebabkan abortus
(keguguran) sedangkan pada manusia sering menyebabkan gejala – gejala saraf.
Sehingga diperlukan langkah-langkah strategis untuk mencegah dan menanggulangi
penyebaran penyakit ini.
2.1 PENGERTIAN PENYAKIT ZOONOSIS
Penyakit zoonosis
adalah penyakit yang ditularkan oleh hewan ke manusia dan sebaliknya dari
manusia ke hewan. Penyakit zoonosis umumnya bersifat fatal dan dapat
menimbulkan kematian. Kemunculan tak terduga dari penyakit zoonosis juga
memunculkan istilah emerging zoonosis. Istilah ini dapat
didefinisikan secara luas sebagai kejadian penyakit zoonosis dengan : 1) agen
penyakit yang dikenal dan muncul pada area geografik yang berbeda, 2) agen
penyakit telah dikenal atau kerabat dekatnya dan menyerang hewan yang
sebelumnya tidak rentan, 3) agen penyakit yang belum dikenal sebelumnya dan
terdeteksi untuk pertama kalinya. Sedangkan re-emerging zoonosis adalah
penyakit zoonosis yang pernah mewabah dan sudah mengalami penurunan intensitas
kejadian namun mulai menunjukkan peningkatan kembali.
Penyakit zoonosis
diklasifikasikan dalam beberapa kategori :
a. Berdasarkan reservoir utama
- Anthropozoonosis
- Zooanthroponosis
- Amphixenosis
b. Berdasarkan agen penyebab
- Virus
- Chlamydia dan Ricketsia
- Bakteri
- Parasit
- Jamur
c. Berdasarkan cara penularannya
- Zoonosis langsung
- Siklo zoonosis
- Meta zoonosis
- Saprozoonosis
2.2 ETIOLOGI
Penyakit brucellosis
atau penyakit keluron menular disebabkan oleh bakteri Brucella.
BakteriBrucella berbentuk kokobasil (short rods) dengan panjang 0,6 – 1,5 µm dan lebar 0,4–0,8 µm,
bersifat Gram negatif, non motil, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, dan
bersifat aerob. Karena tidak menghasilkan spora, bakteri Brucella mudah
dibunuh dibawah sinar matahari namun apabila lingkungan jauh dari jangkauan
sinar matahari maka bakteri ini dapat bertahan selama 6 bulan. Terdapat 6 spesies
yang saat ini dikenal yaitu : B. melitensis, B. abortus, B. suis, B.
neotomae, B. ovis, dan B. canis. Disebut penyakit
keluron karena karakteristiknya dapat menyebabkan keguguran/abortion pada hewan
bunting (Xavier, 2010).
2.3 MEKANISME
PENULARAN PENYAKIT
Reservoir alamiah dari B.
abortus adalah sapi, B. suis adalah babi, B.
melitensis adalah kambing/domba. Inang alamiah dari B. canis adalah
anjing dan B. ovis adalah domba.
a) Infeksi pada manusia
Manusia dapat terinfeksi secara langsung maupun tidak
langsung melalui produk hewan seperti keju dan susu mentah ataupun lewat
inhalasi agen melalui udara. Model transmisi dan alur penetrasi tergantung dari
epidemiologi wilayah, hewan reservoir, dan kelompok pekerja yang terpapar.
Terjadinya transmisi secara kontak diawali pada wilayah yang bersifat enzootik/endemik.
Kelompok yang dianggap berisiko terkena adalah pekerja di RPH, pedagang, dan
dokter hewan. Infeksi biasanya terjadi saat penanganan fetus atau kontak dengan
sekresi vagina, ekskreta, dan karkas yang terinfeksi lalu mikroorganisme, serta
melalui kulit yang luka/abrasi.
b) Infeksi pada sapi
Sumber utama infeksi pada sapi adalah cairan fetus,
sisa–sisa setelah melahirkan, dan cairan vagina. Jalur masuk utama infeksi pada
sapi adalah melalui oral lewat (pakan dan air yang terkontaminasi), kulit yang
luka, inhalasi, dan secara kongenital (fenomena laten) seperti dari induk ke
fetus atau melalui air susu induk. Namun pada jalur kongenital masih harus
dievaluasi lebih mendalam.
c) Infeksi pada babi
Prinsip sumber infeksi sama seperti sapi. Rute infeksi
melalui kontak seksual secara alamiah dimana pejantan yang terinfeksi
brucellosis mengawini betina sehat, melalui rute oral (digesti) dari berbagai
macam makanan yang diberikan kepada babi, secara inhalasi dan melaui
konjungtiva.
2.4 KEJADIAN PADA
MANUSIA DAN HEWAN
A.
PADA MANUSIA
Manusia merupakan hospes aksidental dan tidak
menularkan pada manusia lainnya. Prevalensi infeksi pada hewan–hewan reservoir
merupakan kunci terjadinya infeksi pada manusia. Manusia dapat tertular oleh B.
melitensis, B. suis, B. abortus, dan B.
canis. Penularan B. abortus dan B. suis biasanya
mempengaruhi kelompok pekerja di peternakan sapi namun berbeda halnya dengan B.
melitensis lebih sering terjadi pada populasi yang lebih luas terutama
pada kambing, domba, atau kedua–duanya. Sumber penularan berupa keluron/lendir,
air susu, kemih, dan tinja. Penularan terjadi melalui oral (makanan/minuman
yang terkontaminasi), lendir mata, inhalasi, dan kulit yang terluka. Bakteri
umumnya memperbanyak diri pada kelenjar limfe di kepala dan usus.
Kasus terbesar yang pernah dilaporkan di negara
Argentina, Meksiko, dan Peru. Dari keempat strainBrucella yang
dapat menginfeksi manusia, B. melitensis lah yang paling
bersifat patogen dan paling cepat menulari manusia. Pada umumnya masa inkubasi
penyakit antara 1 – 3 minggu. Penyakit ini bersifat septikemik dengan kematian
yang tiba – tiba atau gejala awalnya tidak diketahui secara pasti yang disertai
oleh demam. Gejala brucellosis bersifat akut yang gejalanya meliputi demam
undulan merupakan gejala khas karena suhu tubuh naik turun dan bervariasi
hingga 40°C) , berkeringat, dan badan bau busuk di malam hari. Gejala umum
lainnya seperti susah tidur, impotent, sakit kepala, anoreksia, sembelit, dan
arthralgia. Brucellosis juga berpengaruh pada sistem saraf. Banyak pasien juga
mengalami pembesaran getah bening (splenomegali) dan hepatomegali. Komplikasi
brucellosis dapat menimbulkan masalah serius seperti encephalitis, meningen
peripheral neuritis, spondilitis, supuratif arthritis, dan endokarditis. Bentuk
kronis brucellosis dapat muncul dan disertai reaksi hipersensitivitas. Pada
daerah enzootik, kasus brucellosis dapat bersifat asimptomatik.
Gambar 1. Penularan brucellosis dari
hewan ke manusia
B.
PADA HEWAN
Brucellosis pada hewan hampir ditemukan diseluruh
dunia namun infeksinya telah dibasmi hampir dibanyak negara Finlandia,
Norwegia, Swedia, Denmark, Belanda, Belgia, Swiss, Jerman, Austria, dll.
Prevalensi brucellosis cukup tinggi pada sapi perah sekitar 1–40%. Brucellosis
pada babi jarang terjadi dan muncul secara sporadis. Di negara Eropa
memperlihatkan adanya hubungan epidemiologi penyakit dengan brucellosis oleh B.
suis biotipe 2 pada kelinci hutan (hare). Di negara – negara
Amerika Latin penyakit ini pada babi bersifat enzootik/endemik.
Brucellosis pada kambing dan domba merupakan masalah penting terutama pada
daerah yang memiliki populasi kambing–domba yang cukup besar seperti negara –
negara Amerika Latin. Domba yang terserang brucellosis memperlihatkan
epididimitis dan spondilitis yang pernah dikonfirmasi di New Zeeland,
Australia, dan Eropa.
Penularan yang terjadi pada hewan umumnya sama dengan
manusia yaitu melalui per oral, lendir mata, inhalasi, dan kulit yang terluka.
Setelah berhasil memasuki tubuh inang, infeksi dapat bersifat terlokalisir
seperti di hati, limpa, dan sumsum tulang belakang. Dan dapat bersifat menyebar
sehingga menyebabkan mastitis. Namun gejala yang ditimbulkan umumnya terjadi
pada hewan yang telah dewasa kelamin.
Adapun gejala – gejala penyakit
brucellosis pada beberapa spesies hewan meliputi :
1. Sapi
Patogen utama pada
sapi adalah B. abortus namun sapi juga dapat tertular oleh B.
suis danB. melitensis bilamana mendapat rumput atau
fasilitas yang berasal dari babi, kambing, atau domba yang tertular. Masa
inkubasi sangat bervariasi dan berproporsi terbalik dengan perkembangan janin
yaitu semakin berkembang kehamilan semakin pendek masa inkubasinya. Gejala
utama pada sapi betina yang khas adalah keguguran (abortus) pada umur
kebuntingan bulan ke-5 sampai ke-9 atau kelahiran pedet prematur. Abortus
biasanya diikuti dengan retensi plasenta atau metritis yang akan menyebabkan
infertilitas permanen. Jika tidak terjadi abortus, maka kuman Brucella dapat
disekresikan ke plasenta, cairan fetus, leleran vagina, kelenjar getah bening,
dan kelenjar susu. Sedangkan pada sapi jantan biasanya terlihat dengan
membesarnya salah satu atau kedua testis disertai dengan penurunan libido dan
infertilitas. Terkadang testis juga mengalami atrofi, vesiculitis seminal,
ampulitis, higroma, dan arthritis. Sementara pedet dapat terinfeksi secara
vertikal melalui air susu induk yang menderita mastitis.
Awalnya Brucella memperbanyak
diri pada limfonodus regional lalu bersama limfe dan darah (bakterimia)
menyebar ke seluruh organ. Secara umum Brucella dapat
ditemukan pada limfonodus, uterus, ambing, limfa, hati, dan pada sapi jantan
ditemukan di semen. Sejumlah besar erithritol yaitu
karbohidrat penstimuli perkembangan Brucella dapat ditemukan
pada plasenta sehingga menyebabkan plasentitis dan nekrose kotiledon. Kepekaan
sapi terhadap infeksi tergantung jenis kelamin dan usia ternak. Pada fase akut
dari penyakit ini ditandai dengan tingginya kejadian abortus serta tingginya
tingkat reaktor terhadap uji aglutinasi. Hewan dengan kategori sangat peka
yaitu sapi betina dewasa yang pertama kali bunting dan beberapa kali bunting.
Sebagian besar sapi yang tertular brucellosis menunjukkan titer aglutinasi
positif selama beberapa tahun dan setelah 1 - 2 kali abortus, maka sapi – sapi
tersebut bisa kembali normal dan dapat memproduksi susu secara normal.
Gambar 2. Kuman Brucella yang
ditemukan di semen (Xavier, 2010)
2. Babi
Patogen utama pada
babi adalah B. suis. B. suis memiliki 3 biotipe
yaitu 1, 2, dan 3. Infeksi yang disebabkan biotipe 1 dan 3 menyebar secara
langsung dan tidak langsung dari babi ke babi. Sedangkan biotipe 2 (biotipe
Danish) sering ke babi melalui kelinci hutan (Lepus europaeus). Babi
juga dapat terinfeksi B. abortus namun bersifat asimptomatik
dan hanya terbatas pada daerah kepala dan leher. Apabila brucellosis menyerang
peternakan babi sehat maka akan muncul gejala : abortus, infertilitas, anak
babi lahir lemah, orchitis, epididimitis, arthritis, abses, dan spondylitis.
Infeksi umumnya bersifat sementara pada babi yang disapih sekalipun dapat
memunculkan terjadinya hewan karier.
3. Kambing
Patogen utama pada
kambing adalah B. melitensis. Umumnya gejala sama pada hewan
lainnya meliputi hygroma, arthritis, spondylitis, dan orchitis. Ada juga gejala
utamanya adalah abortus pada bulan ketiga atau keempat masa kehamilan. Pada
kambing betina dapat menyebabkan mastitis sebagai tanda awal terjadinya infeksi
brucella pada suatu kelompok. Pada infeksi kronis umumnya penyakit tidak
terlalu tampak dan secara patologi anatomi tidak terbukti walaupun patogen
berhasil diisolasi.
4. Domba
Brucellosis pada domba
jantan dibedakan menjadi 2 yaitu brucellosis klasik dan brucellosis
epididymitis. Brucellosis klasik disebabkan oleh B. melitensis yang
banyak menyerang domba di wilayah penggembalaan secara intensif. Infeksi
biasanya terjadi secara spontan dan tidak ditransmisikan dari domba ke domba
lainnya sedangkan brucellosis epididymitis disebabkan oleh B. suis.
Tanda klinis berupa lesi organ genital, abortus atau kematian neonatal,
epididymitis unulateral atau bilateral, atrofi testis, dan spondilitis.
Pemeriksaan laboratorium brucellosis pada domba dapat memakai sampel semen dan
urin.
5. Kuda
Patogen yang
menginfeksi adalah B. abortus dan B. suis.
Biasanya penyakit ini bermanifestasi dalam bentuk fistulous bursitis “pool
evil” dan “fistulus withers”. Gejala abortus jarang terjadi meskipun
pada feses ditemukan agen infeksi tapi gejala biasanya berupa spondilitis.
Manusia dapat terinfeksi karana ada lesi – lesi yang terbuka. Pada umumnya kuda
tahan terhadap infeksi dan penularan penyakti dari kuda ke kuda belum
diketahui.
6. Anjing dan kucing
Kasus brucellosis pada
anjing bersifat sporadis disebabkan oleh B. abortus, B. suis, dan B.
melitensis. Penularan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi
cairan fetus dan air susu. Gejala bisa bersifat subkilnis namun juga dapat
muncul gejala seperti demam, kekurusan, ochitis, anestrus, arthritis, dan
abortus. Pada kucing, penyakit brucellosis bersifat epizootic yang disebabkan
oleh B. canis. Ciri – ciri penyakit pada kucing demam panjang,
kematian embrionik, aborsi, prostatitis, epididymitis, scrotal dermatitis,
lymphadenitis, dan splenitis. Abortus muncul pada 50 hari masa kebuntingan.
Namun meskipun dapat terinfeksiBrucella, kucing cenderung resisten dan
jarang dilaporkan adanya kasus brucellosis pada kucing.
7. Mamalia domestik lainnya
Kerbau peliharan (Bubalus
bubalis) dan lembu (Bos grunniens) dapat terinfeksi B.
abortusdengan gejala mirip brucellosis pada sapi. Selain itu, unta – unta Camelus
bactrianus, untaCamelus dromedaries, dan unta di Amerika juga dapat
terinfeksi B. abortus. Pada alpca (Lama pacos) di dataran
tinggi (altiplano) di wilayah Peru dapat terinfeksi brucellosis yang disebabkan
oleh B. abortus.
8. Hewan liar
Brucella secara luas ada
di hewan – hewan liar seperti tikus padang pasir di Amerika (Neotoma lepida)
sebagai reservoir B. neotomae, kelinci hutan (Lepus europaeus)
sebagai reservoir B. suis biotipe 2, caribou (Rangifer
caribou) sebagai reservoir B. suis tipe 4, rubah (Dusicyon
gymnocercus) dan Grison (Galictis furaxeuropaeus) yang dapat
terinfeksi B. abortus biotipe 1 dan B. suis biotipe
1. Karnivora dapat tertular karena memakan fetus setelah kelahiran.
9. Unggas
Gejala yang muncul
pada infeksi brucellosis pada ayam berupa berat badan menurun, penurunan
produksi telur, dan diare. Perjalanan penyakit brucellosis pada unggas sangat
akut. Selain ditemukan pada unggas, Brucella juga pernah
diisolasi dari spesies burung liar seperti korvids (Corvus cornix dan Tripanscorax
fragilecus).
2.5 PENGOBATAN
Secara umum pengobatan untuk penyakit brucellosis pada
ternak tidak disarankan karena penyakit bersifat persisten dimana bakteri
adalah bakteri intraseluler, metabolisme hewan tertular akan lambat, dan
penyakit menghasilkan granuloma sehingga menghambat masuknya obat. Kalaupun
dilakukan pengobatan maka dapat diberikan antibiotik streptomisin, doksisiklin,
dan rifampisin. Namun dengan syarat diberikan dalam jangka waktu lama dan tidak
boleh terputus rata – rata selama 6 minggu. Namun dalam beberapa kasus,
penyakit brucellosis dapat sembuh sendiri setelah 1 – 2 kali mengalami abortus
Pada orang dewasa dan anak diatas umur 8 tahun,
antibiotika yang dapat diberikan adalah doksisiklin dan rifampisin selama 6 – 8
minggu, sedangkan untuk anak dibawah 8 tahun sebaiknya diberikan rifampisin dan
trimethroprim-sulfamethoxazole selama 6 minggu. Penderita brucellosis dengan
spondilitis direkomendasikan aminoglikosida selama 2 – 3 minggu lalu diikuti
dengan doksisiklin dan rifampisin selama 6 minggu.
2.6 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
Karena tidak
efektifnya tindakan pengobatan, maka sangat disarankan tindakan pencegahan yang
meliputi :
a) Melakukan kontrol dan eradikasi terhadap hewan reservoir. Ternak yang
didiagnosis brucellosis harus segera dipisahkan dipisahkan dan jika ada
kejadian abortus, fetus, dan membran fetus harus segera dikirim ke laboratorium
untuk diuji. Kemudain tempat didesinfeksi dan semua material terkontaminasi
harus dibakar.
b) Mengkonsumsi produk asal hewan yang
higienis dan terjamin mutu seperti susu yang dipasteurisasi
c) Menggunakan perlengkapan kerja sesuai standar keamanan dan bekerja dibawah
pengawasan dokter hewan pada kelompok rawan infeksi seperti peternak sapi,
pekerja RPH, dan dokter hewan itu sendiri.
d) Vaksinasi kepada kelompok rawan tertular
seperti dokter hewan, pekerja kandang, pemerah susu, dan pekerja di RPH.
e) Vaksinasi pada daerah endemis (prevalensi <2%) serta melakukan
pengujian dan pemotongan (test and slaughter) pada daerah dengan
prevalensi > 2%. Vaksin menggunakan strain 19 atau strain 45/20. Vaksinasi
tidak berlaku untuk sapi betina bunting. Vaksinasi pada sapi betina diatas umur
4 bulan sedangkan vaksinasi tidak dilakukan pada sapi jantan karena dapat
menurunkan fertilitas
f) Pada daerah yang bebas brucellosis (seperti Bali dan Lombok) melakukan lalu
lintas pada ternak secara ketat.
DAFTAR PUSTAKA
Noor, S. M. 2006. Brucellosis:
Penyakit Zoonosis Yang Belum Banyak Dikenal Di Indonesia. Balai Penelitian
Veteriner Bogor: Bogor
Seleem, M. N. 2010. Brucellosis:
A re-emerging zoonosis. The Institute for Critical Technology and Applied
Science, Virginia Polytechnic Institute and State University: Blacksburg.
Setiawan, E. D. 1991. Brucellosis
Pada Sapi. Balai Penelitian Veteriner Bogor: Bogor
Xavier, M. N. 2010. Pathogenesis
of Brucella spp. Departamento de Clínica e Cirurgia Veterinária,
Universidade Federal de Minas Gerais: Brazil
Rabu, 23 Mei 2012
Rabu, 26 Oktober 2011
pemamfaatab limbah nanas
PENGGUNAAN LIMBAH NANAS (Ananas comosus (L.) Merr) SEBAGAI FEED SUPLEMENT PAKAN TERNAK RUMINANSIA
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Nutrisi Ternak Ruminansia
Diampu Oleh : Prof. Dr. Ir. Siti Chuzaemi, MS
OLEH:
NAMA MOH. WAQID
NIM 105050113111035
KELAS A
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyediaan hijauan di Indonesia masih menjadi masalah, terutama pada musim kemarau serta daerah yang penduduknya relative padat. Sehingga mempengaruhi sulitnya usaha peternakan mengalami perkembangan. Kondisi tersebut di akibtakan oleh masalah pakan penyediaan pakan dengan kualitas, kuantitas dan kontinuitas yang belum mencukupi. Penggunanan bahan pakan (inkonvensional) alternative merupakan salah satu alternative pemecahan masalah tersebut, seperti penggunaan limbah pertanian maupun industry pertanian.
Usaha ternak ruminansia sebagai salah satu sumber protein hewani asal daging serta susu sangat tergantung akan asupan bahan pakan yang tersedia dan memiliki kualitas yang relative baik bagi perkembangan ternak. Pakan sampai saat ini menyumbang 70% dari total pembiayaan usaha ternak. Usaha peternakan yang telah intensif pun kebanyakan masih mengandalkan sumber pakan yang biasa digunakan sejak dulu. Inovasi untuk mendapatkan sumber pakan baru bagi ternak ruminansia mutlak diperlukan. Peningkatan produksi ternak ruminansia memerlukan penyediaan jumlah pakan dalam jumlah besar, terutama pakan berserat kasar (roughage) yang murah. Perluasan areal untuk penanaman pakan ternak akan semakin terbatas, terutama pada daerah padat penduduk. Disamping itu penanaman pakan ternak menghadapi beberapa kendala yaitu :
• Memerlukan investasi lahan yang cukup mahal,
• Pemeliharaan tanaman yang tidak murah,
• Pengangkutan hijauan ke farm yang kontinyu (tiap hari),
• Hasil panen yang fluktuatif (tergantung musim), dan
• Proses Penyimpanan yang juga memerlukan biaya yang relatif mahal (kebanyakan disimpan dalam bentuk silase).
Hasil intensifikasi tanaman pangan tidak hanya mengahsilkan bahan pangan, tetapi juga menghasilkan limbah berserat yang melimpah sehingga integrasi antara tanaman pangan dengan ternak merupakan suatu alternatif untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak.
Menurut Devendra (1987), manyebutkan bahwa pengembangan penggunaan limbah yang berasal dari agroindustri dan bahan pakan nonkonvensional sangat penting dillakukan karena dapat digunakan sebagai substitusi kekurangan hijauan maupun sebagai pengganti hijauan, salah satu limbah pertanian yang memiliki potensi besar yaitu limbah nanas.( Hutagulang et al, 1978).
Pemamfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan satu alternative bijaksana dalam upaya memenuhi kebutuhan nutrisi bagi ternak. Dua aspek yang terkait dengan pemamfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak adalah ketersediaan bahan baku penyusun ransum bagi ternak dengan nilai ekonomis yang tinggi dan membantu mengurang pencemaran lingkungan.
1.2. Dasar Masalah
a. Sekilas tentang buah nanas?
b. Bagaimana potensi pemanfaatan limbah nanas sebagai sumber pakan alternatif ( nonkonvensional ) bagi ternak ruminansia?
c. Bagaimanakah teknologi pengolahan limbah nanas sebagai bahan pakan ternak ruminansia?
d. Bagaimana alur serta proses pengolahan limbah Nanas menjadi bahan pakan ternak?
e. Bagaimana batasan penggunaan limbah nanas dalam ransum ternak ruminansia?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini untuk mengetahui potensi limbah nanas sebagai bahan pakan ternak ruminansia, teknologi pengolahan limbah nanas menjadi bahan pakan ternak, alur pembuatan dan proses pengolahan limbah nanas menjadi bahan pakan ternak ruminansia serta mengethaui batasab penggunaan limbah nanas dalam ransum ruminansia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sekilas Tentang Buah Nanas
Nanas merupakan tanaman buah berupa semak dengan daging buah berwarna kuning. Kandungan air yang dimiliki buah nanas adalah 90%. Nanas kaya akan Kalium, Kalsium, lodium, Sulfur, Khlor, Asam, Biotin, Vitamin B12, Vitamin E serta Enzim Bromelin. Dalam bahasa Inggris, nanas disebut pineapple yang berasal dari persamaan bentuk buah pohon pinus yaitu pine-cone (biji/buah cemara). Sebutan ini pertama kali tercatat pada 1398, yang asalnya dulu digunakan untuk menjelaskan organ reproduksi dari pohon conifer (sekarang disebutpine-cone). Ketika bangsa Eropa melakukan eksplorasi laut (menjelajah dunia) maka ditemukanlah buah tropikal ini, bangsa Eropa menyebutnya “pineapples” (kata ini tercatat pada 1664). Dalam bahasa ilmiah, nama dari nanas adalah Ananas Comosus.
Produktivitas ternak sangat di pengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan. Kondisi optomim pertumbuhan ternak tidak akan tercapai dengan hanya diberikan rumput saja. Penambahan zat gizi dalam bentuk bahan penguat atau hijauan yang mengandung protein tinggi, sehingga harus ada pencampuran dengan leguminosa. Karena semakin berfariasi ransum yang diberikan akan menambah konsumsi ternak terhadap bahan pakan serta dapat menyempurnakan kandungan nutrisi. Namun, hal yang perlu di perhatikan adanya kandungan metabolit sekunder ( zat anti nutrisi) yang dapat mempengaruhi kuantitas maupun batasan penggunaan dalam ransum.
Salah satu cara dalam mengatasi kekurangan hijauan adalah dengan memamfaatkan limbah pertanian sebagai pengganti hijauan. Menurut devendra (1987), menyebutkan bahwa pengembangan penggunaan limbah yang berasal dari agroindustri dan bahan pakan nonkonvnsional sangat penting dilakukan. Salah satu limbah yang memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai bahan pakan alternative adalah limbah nanas. Limbah nanas merupakan sumber energy yang potensial, karena kandungan karbohidratnya yang tinggi, yaitu 71,6% bahan ekstrak tanpa N (BETN) dan 9,35 % serat kasar. (Senik, 1978). Produksi limbah nanas yang di hasilkan dalam industry pengalengan nanas sangat besar. Tiap hektar lahan yang digunakan menghasilkan sekitar 14 ton buah, dan sekitar 60-80% di buang sebagai limbah. (Hutagulang et al, 1978).
Menurut data dari badan penelitian dan pengembangan pertanian, departemen pertanian (2009), menyebutkan bahwa kandungan nutrisi buah nanas terdiri dari bahan kering 54,2%, bahan organic 91,9%, abu 8,1%, NDF 57,3%, ADF 31, 1%, energy kasar 4481 kkal/kgBK serta energy cerna 2120 kkal/kgBK.
Limbah nanas mengandung serat (NDF) yang relative tinggi 57, 3%, sedangkan protein kasar termasuk rendah yaitu hany 3,5%. Oleh Karena itu potensi penggunaan nanas bukan sebagai komponen penyusun konsentrat, namun lebih sebagai pakan dasar penyusun ransum. Limbah nanas yang telah dikeringkan dapat digunakan langsung sebagai bahan pakan dasar. Sedangkan bila digunakan sebagai pakan dasar dalam pakan komplit limbah harus digiling lebih dahulu. Sebagai pakan dasar limbah nanas diharapkan dapat meminimalisir ketergantungan akan pengadaan akan pengadaan hijauan pakan bagi kebutuhan ternak.
2.2. Potensi Pemamfaatan Limbah Nanas Sebagai Bahan Pakan Alternative
Produksi buah nanas secara nasional mencapai 702 ton pertahun dan sebagian besar disumbang oleh lima daerah utama penghasl nanas yaitu sumatera utara, sumatera selatan, lampung, jawa barat dan jawa timur. Potensi tanaman nanas sebagai sumber bahan pakan ternak dimungkinkan, apabila terdapat industry yang akan mengolah buah nanas menjadi produk hasil olahan berupa sari nanas. Tingkat rendemen sekitar 15%, atau dihasilkan produk limbah berupa campuran kulit dan serat perasan daging buah sebesar 85%. Walaupun tidak seluruh produksi tanaman nanas digunakan untuk memenuhi kebutuhan pabrik pengolah yang ada , secara potensi terdapat 596 ribu ton pertahun limbah segar nanas yang dapat dimamfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak. Bila dikonversikan kedalam kedalam bahan kering dengan kadar air 24% , maka terdapat potensi sebesar 143 ribu ton pertahun limbah nanas kering. (Poerwanto, 2005)
Menurut Winarno (1993) bromelin merupakan enzim protease yang dapat menghirolisis protein. Enzim ini mudah diperoleh karena tanamannya dapat berbuah sepanjang tahun tanpa tergantung oleh musim. Buah nanas kaya akan enzim bromelin yang berguna untuk melegakan tenggorokan dan membantu pencernaan. Enzim bromelain mencerna protein di dalam makanan dan menyiapkannya agar mudah diserap tubuh. Bromelin membantu proses penyembuhan luka dan mengurangi pembengkakan atau peradangan di dalam tubuh. Nanas adalah pilihan yang baik bagi pasien sebelum dan sesudah menjalani operasi. Menurut Hero (2008) selama 5 tahun terakhir tahun 2000 sampai 2005 perkembangan produksi nanas Indonesia rata-rata sebesar 6.145.382 ton.
2.3. Teknologi Pengolahan Limbah Nanas
Tehnologi pengolahan limbah nanas untuk menghasilkan bahan pakan ternak kebanyakan dilakukan dengan cara pengeringan dikarenakan mengandung air dalam jumlah besar, sehingga membutuhkan pengeringan secara intensif dan cepat untuk menghindari kerusakan bahan pakan. Namun, limbah nanas dapat juga diproses dengan menggunakan tehnologi fermentasi untuk menghasilkan produk silase limbah nanas. Hal ini dimungkinkan karena kandungan air sebesar 75% sesuai proses pembuatan silase (MC Donald, 1981). Tehnologi ini dapat dapat mengatasi masalah cepatnya limbah mengalami kerusakan apabila todak segera di keringan dengan demikian pengolahan limbah menjadi silase dapat menghindari proses penggilingan maupun penggilingan, karena silase limbah dapat langsung digunakan sebagai bahan pakan dasar. Hal ini dengan sendirinya berpotensi untuk mengurangi biaya pengolahan secara signifikan , walaupun untuk mengolah limbah menjadi bentuk silase juga membutuhkan biaya, antara lain untuk pembuatan silo dan bahan aditif. Diperlukan analisis efisiensi ekonomis untuk mengetahui proses pengolahan yang paling optimal dalam memamfaatkan limbah nanas tersebut yang hasilnya ditentukan oleh skala produksi.
2.4. Alur Pembuatan Serta Proses Pengolahan Limbah Nanas
Alur pembuatan limbah nanas yaitu :
Sumber : simon p. ginting dkk (2009), poerwanto (2005)
Buah nanas
(1000 kg)
Sari Nanas
(150 kg)
Kulit SPDB (850 kg)
Fermentasi
Pengeringan
Penggilingan
Kulit-SPDB (204kg)
Kulit-SPDB
Pengganti Rumput
(Pakan Komplit)
Silase Kulit-SPDB (850 kg)
Pakan Dasar
(pengganti Rumput
Proses pengolahan limbah nanas menjadi bahan pakan ternak , yaitu memiliki tiga cara yang meliputi :
a. pengeringan, kulit buah dikeringkan untuk mendapatkan kulit buah kering dangan kadar air 13% kering matahari membutuhkan waktu 3-4 jam.
b. Penggilingan, kulit buah yang telah kering digiling untuk menghasilkna tepung atau remah kulit buah yang lebih baik dibandingkan dengan tepung untuk memberi efek positif terhadap rumen,
c. Pencampuran, tepung atau remah kulit nanas kering dapat digunakan sebagai komponen pakan konsentrat ataupun pakan komplit.
Penggunaan limbah nanas sebagai bahan pakan ternak dapat digunakan sebagai sumber energy untuk kebutuhan ternak ternak ruminansia seperti kambing sedangkan penggunaannya dalam bentuk komponen konsentrat, maupun pakan komplit. Melalui data yang didapat dari departemen pertanian (2009) menyebutkan bahwa pertambahan bobot badan hewan percobaan termasuk sedang dengan konversi pakan 62 sampai 66 g, dengan konversi pakan antara 8,6- 12,2. Pertambahan bobot badan cenderung menurun dan konversi pakan cenderung semakin tinggi dengan meningkatkan taraf subtitusi hijauan dengan limbah nanas. Oleh Karena itu, taraf penggunaan limbah nanas untuk menstubsitusi hijauan perlu di tentukan perlu dipertimbangkan berdasrkan optima biologis maupun optima ekonomisnya. Adanya potensi limbah nanas untuk mensubtitusi sebagian atau seluruh komponen hijauaj dalam pakan merupakan “Nilai Nutrisi” yang dibutuhkan dalam mengembangkan system integrasi produksi ternak dengan tanaman nanas.
2.5. Batasan Penggunaan Limbah Nanas Dalam Ransum Ruminansia
Sebagai bahan pakan kulit buah nanas dapat digunakan sebanyak 10-20% dalam pakan. Penggunaan lebih 20% dapat menurunkan bobot badan. Menurut junior et al (2005), mengungkapkan bahwa limbah hasil pengolahan buah-buahan berpotnsi digunakan sebagai bahan pakan ternak ruminansia. Hasil penelitian Kellens et al (1979), menunjukkan bahwa limbah nanas mempunyai potensi besar untuk digunakan sebagai pakan ruminansia ketika disuplementasi oleh protein dan mineral. Limbah nanas beupa silase dan potongan hijauan dapat memberikan memberikan peningkatan bobot badan mencapai 0,91 kg/hari. Selanjutnya Corella et al (2006), menyebutkan bahwa penggunaan limbah nanas yang sudah dikeringkan tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap terhadap kecernaan bahan kering, protein kasar dan Neutral Detergent Fiber (NDF). Selain itu Jetana et al (2008) meneliti penggunaan silase limbah nanas pada ternak kerbau menyimpulkan bahwa pada imbangan silase limbah nanas dengan konsentrat sebesar 40:60 menghasilkan efisiensi dalam hal eksresi turunan purin dan urinper kg bahan organic tercerna yang dikonsumsi. Ginting et al (2005) menyebutkan bahwa salah satu factor pembatas dalam penggunaan limbah nanas sebagai pakan adalah kendungan protein dan NDF yang rendah sehingga disarankan penggunaannya tidak dalam bentuk tunggal. Selanjutnya, Ginting et al (2007) menyebutkan bahwa penggunaan silase limbah nanas dapat mencapai 75% dalam ransum ketika dikombinasikan dengan konsentrat.
Table penggunaann serta konversi pakan limbah nanas
penggunaan Taraf (%) PBBH (g) KP
Komponen konsentat 15-20 60-80 10-14
Komponen pakan komplit 10-15 80-105 8-10
Keterangan : PBBH : Pertambahan Bobot Badan Harian ,
KP : Konversi Pakan ( Konsumsi/ PBBH)
Dalam penelitian Makruf Tafsin Dkk (2008) tentang pemamfaatan limbah nanas yang digunakan sebagai pensubstitusi campuran rumput gajah dengan rumput kaliandra (60:40) terhadap nilai kecernaan dan Rasio Digestible Nutrient (TDN) domba local (ruminansia), menunjukkan bahwa kecernaan protein kasar mempunyai kecenderungan yang menurun dengan menggunakan limbah nanas lebih dari 10%. Kecernaan protein kasar erat kaitannya dengan keseimbangan zat makanan dalam ransum, terutama keseimbangan protein dan karbohidrat yang mudah dicerna. Keseimbangan tersebut akan mempengaruhi pola fermentasi di dalam rumen. Menurut Arora (1989), makanan yang kandungan karbohidrat mudah dicernanya tinggi akan memerlukan nitrogen (protein kasar)yang lebih tinggi untuk pertumbuhan optimum mikroorganisme. Sedangkan kecernaan serat kasar mengalami nilai yang lebih rendah. Hal ini erat kaitannya dengan dengan kandungan protein kasar yang rendah dalam ransum. Menurut Mc Donald et al (1995), protein kasar yang rendah akan menghambat mikroflora dan mikrofauna , dan akibatnya kemampuan mikroorganisme untuk mencrna serat kasar akan berkurang.
Adapun dalam pengamatan nilai kecernaan terhadap Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) menunjukkan hasil yang cukup baik dimana teradi peningkatan daya cerna sampai 40%. Pemberian ransum dengan serat kasar yang rendah secara kontinyu dapat mengadaptasikan ternak ruminansia terhadap karbohidrat yang mudah dicerna selain itu bakteri yang merombaknya juga meningkat. (Arora, 1989). Sementara nilai TDN ransum meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan limbah nanas sampai 40%. Hal ini disebabkan karena meningkatnya nilai BETN dapat dicerna walaupun nilai protein dan serat kasar menurun. Penggunaan limbah nanas sebanyak 50% menunjukkan nilai TDN yang lebih rendah dibanding dengan menggunakan limbah nanas 40%. Hal ini disebabkan penggunaan limbah nanas dapat meningkatkan kandungan karbohidrat yang mudah dicerna sehingga berakibat menurunnya kecernaan zat makanan terutama untuk protein kasar dan serat kasar. Pada penggunaan limbah nanas 50%, nilain serat kasar dan protein dapat dicerna sudah sangat rendah, sehingga nilai TDN ransum menurun. (Makruf Tafsin dkk, 2008)
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Nutrisi Ternak Ruminansia
Diampu Oleh : Prof. Dr. Ir. Siti Chuzaemi, MS
OLEH:
NAMA MOH. WAQID
NIM 105050113111035
KELAS A
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyediaan hijauan di Indonesia masih menjadi masalah, terutama pada musim kemarau serta daerah yang penduduknya relative padat. Sehingga mempengaruhi sulitnya usaha peternakan mengalami perkembangan. Kondisi tersebut di akibtakan oleh masalah pakan penyediaan pakan dengan kualitas, kuantitas dan kontinuitas yang belum mencukupi. Penggunanan bahan pakan (inkonvensional) alternative merupakan salah satu alternative pemecahan masalah tersebut, seperti penggunaan limbah pertanian maupun industry pertanian.
Usaha ternak ruminansia sebagai salah satu sumber protein hewani asal daging serta susu sangat tergantung akan asupan bahan pakan yang tersedia dan memiliki kualitas yang relative baik bagi perkembangan ternak. Pakan sampai saat ini menyumbang 70% dari total pembiayaan usaha ternak. Usaha peternakan yang telah intensif pun kebanyakan masih mengandalkan sumber pakan yang biasa digunakan sejak dulu. Inovasi untuk mendapatkan sumber pakan baru bagi ternak ruminansia mutlak diperlukan. Peningkatan produksi ternak ruminansia memerlukan penyediaan jumlah pakan dalam jumlah besar, terutama pakan berserat kasar (roughage) yang murah. Perluasan areal untuk penanaman pakan ternak akan semakin terbatas, terutama pada daerah padat penduduk. Disamping itu penanaman pakan ternak menghadapi beberapa kendala yaitu :
• Memerlukan investasi lahan yang cukup mahal,
• Pemeliharaan tanaman yang tidak murah,
• Pengangkutan hijauan ke farm yang kontinyu (tiap hari),
• Hasil panen yang fluktuatif (tergantung musim), dan
• Proses Penyimpanan yang juga memerlukan biaya yang relatif mahal (kebanyakan disimpan dalam bentuk silase).
Hasil intensifikasi tanaman pangan tidak hanya mengahsilkan bahan pangan, tetapi juga menghasilkan limbah berserat yang melimpah sehingga integrasi antara tanaman pangan dengan ternak merupakan suatu alternatif untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak.
Menurut Devendra (1987), manyebutkan bahwa pengembangan penggunaan limbah yang berasal dari agroindustri dan bahan pakan nonkonvensional sangat penting dillakukan karena dapat digunakan sebagai substitusi kekurangan hijauan maupun sebagai pengganti hijauan, salah satu limbah pertanian yang memiliki potensi besar yaitu limbah nanas.( Hutagulang et al, 1978).
Pemamfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan satu alternative bijaksana dalam upaya memenuhi kebutuhan nutrisi bagi ternak. Dua aspek yang terkait dengan pemamfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak adalah ketersediaan bahan baku penyusun ransum bagi ternak dengan nilai ekonomis yang tinggi dan membantu mengurang pencemaran lingkungan.
1.2. Dasar Masalah
a. Sekilas tentang buah nanas?
b. Bagaimana potensi pemanfaatan limbah nanas sebagai sumber pakan alternatif ( nonkonvensional ) bagi ternak ruminansia?
c. Bagaimanakah teknologi pengolahan limbah nanas sebagai bahan pakan ternak ruminansia?
d. Bagaimana alur serta proses pengolahan limbah Nanas menjadi bahan pakan ternak?
e. Bagaimana batasan penggunaan limbah nanas dalam ransum ternak ruminansia?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini untuk mengetahui potensi limbah nanas sebagai bahan pakan ternak ruminansia, teknologi pengolahan limbah nanas menjadi bahan pakan ternak, alur pembuatan dan proses pengolahan limbah nanas menjadi bahan pakan ternak ruminansia serta mengethaui batasab penggunaan limbah nanas dalam ransum ruminansia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sekilas Tentang Buah Nanas
Nanas merupakan tanaman buah berupa semak dengan daging buah berwarna kuning. Kandungan air yang dimiliki buah nanas adalah 90%. Nanas kaya akan Kalium, Kalsium, lodium, Sulfur, Khlor, Asam, Biotin, Vitamin B12, Vitamin E serta Enzim Bromelin. Dalam bahasa Inggris, nanas disebut pineapple yang berasal dari persamaan bentuk buah pohon pinus yaitu pine-cone (biji/buah cemara). Sebutan ini pertama kali tercatat pada 1398, yang asalnya dulu digunakan untuk menjelaskan organ reproduksi dari pohon conifer (sekarang disebutpine-cone). Ketika bangsa Eropa melakukan eksplorasi laut (menjelajah dunia) maka ditemukanlah buah tropikal ini, bangsa Eropa menyebutnya “pineapples” (kata ini tercatat pada 1664). Dalam bahasa ilmiah, nama dari nanas adalah Ananas Comosus.
Produktivitas ternak sangat di pengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan. Kondisi optomim pertumbuhan ternak tidak akan tercapai dengan hanya diberikan rumput saja. Penambahan zat gizi dalam bentuk bahan penguat atau hijauan yang mengandung protein tinggi, sehingga harus ada pencampuran dengan leguminosa. Karena semakin berfariasi ransum yang diberikan akan menambah konsumsi ternak terhadap bahan pakan serta dapat menyempurnakan kandungan nutrisi. Namun, hal yang perlu di perhatikan adanya kandungan metabolit sekunder ( zat anti nutrisi) yang dapat mempengaruhi kuantitas maupun batasan penggunaan dalam ransum.
Salah satu cara dalam mengatasi kekurangan hijauan adalah dengan memamfaatkan limbah pertanian sebagai pengganti hijauan. Menurut devendra (1987), menyebutkan bahwa pengembangan penggunaan limbah yang berasal dari agroindustri dan bahan pakan nonkonvnsional sangat penting dilakukan. Salah satu limbah yang memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai bahan pakan alternative adalah limbah nanas. Limbah nanas merupakan sumber energy yang potensial, karena kandungan karbohidratnya yang tinggi, yaitu 71,6% bahan ekstrak tanpa N (BETN) dan 9,35 % serat kasar. (Senik, 1978). Produksi limbah nanas yang di hasilkan dalam industry pengalengan nanas sangat besar. Tiap hektar lahan yang digunakan menghasilkan sekitar 14 ton buah, dan sekitar 60-80% di buang sebagai limbah. (Hutagulang et al, 1978).
Menurut data dari badan penelitian dan pengembangan pertanian, departemen pertanian (2009), menyebutkan bahwa kandungan nutrisi buah nanas terdiri dari bahan kering 54,2%, bahan organic 91,9%, abu 8,1%, NDF 57,3%, ADF 31, 1%, energy kasar 4481 kkal/kgBK serta energy cerna 2120 kkal/kgBK.
Limbah nanas mengandung serat (NDF) yang relative tinggi 57, 3%, sedangkan protein kasar termasuk rendah yaitu hany 3,5%. Oleh Karena itu potensi penggunaan nanas bukan sebagai komponen penyusun konsentrat, namun lebih sebagai pakan dasar penyusun ransum. Limbah nanas yang telah dikeringkan dapat digunakan langsung sebagai bahan pakan dasar. Sedangkan bila digunakan sebagai pakan dasar dalam pakan komplit limbah harus digiling lebih dahulu. Sebagai pakan dasar limbah nanas diharapkan dapat meminimalisir ketergantungan akan pengadaan akan pengadaan hijauan pakan bagi kebutuhan ternak.
2.2. Potensi Pemamfaatan Limbah Nanas Sebagai Bahan Pakan Alternative
Produksi buah nanas secara nasional mencapai 702 ton pertahun dan sebagian besar disumbang oleh lima daerah utama penghasl nanas yaitu sumatera utara, sumatera selatan, lampung, jawa barat dan jawa timur. Potensi tanaman nanas sebagai sumber bahan pakan ternak dimungkinkan, apabila terdapat industry yang akan mengolah buah nanas menjadi produk hasil olahan berupa sari nanas. Tingkat rendemen sekitar 15%, atau dihasilkan produk limbah berupa campuran kulit dan serat perasan daging buah sebesar 85%. Walaupun tidak seluruh produksi tanaman nanas digunakan untuk memenuhi kebutuhan pabrik pengolah yang ada , secara potensi terdapat 596 ribu ton pertahun limbah segar nanas yang dapat dimamfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak. Bila dikonversikan kedalam kedalam bahan kering dengan kadar air 24% , maka terdapat potensi sebesar 143 ribu ton pertahun limbah nanas kering. (Poerwanto, 2005)
Menurut Winarno (1993) bromelin merupakan enzim protease yang dapat menghirolisis protein. Enzim ini mudah diperoleh karena tanamannya dapat berbuah sepanjang tahun tanpa tergantung oleh musim. Buah nanas kaya akan enzim bromelin yang berguna untuk melegakan tenggorokan dan membantu pencernaan. Enzim bromelain mencerna protein di dalam makanan dan menyiapkannya agar mudah diserap tubuh. Bromelin membantu proses penyembuhan luka dan mengurangi pembengkakan atau peradangan di dalam tubuh. Nanas adalah pilihan yang baik bagi pasien sebelum dan sesudah menjalani operasi. Menurut Hero (2008) selama 5 tahun terakhir tahun 2000 sampai 2005 perkembangan produksi nanas Indonesia rata-rata sebesar 6.145.382 ton.
2.3. Teknologi Pengolahan Limbah Nanas
Tehnologi pengolahan limbah nanas untuk menghasilkan bahan pakan ternak kebanyakan dilakukan dengan cara pengeringan dikarenakan mengandung air dalam jumlah besar, sehingga membutuhkan pengeringan secara intensif dan cepat untuk menghindari kerusakan bahan pakan. Namun, limbah nanas dapat juga diproses dengan menggunakan tehnologi fermentasi untuk menghasilkan produk silase limbah nanas. Hal ini dimungkinkan karena kandungan air sebesar 75% sesuai proses pembuatan silase (MC Donald, 1981). Tehnologi ini dapat dapat mengatasi masalah cepatnya limbah mengalami kerusakan apabila todak segera di keringan dengan demikian pengolahan limbah menjadi silase dapat menghindari proses penggilingan maupun penggilingan, karena silase limbah dapat langsung digunakan sebagai bahan pakan dasar. Hal ini dengan sendirinya berpotensi untuk mengurangi biaya pengolahan secara signifikan , walaupun untuk mengolah limbah menjadi bentuk silase juga membutuhkan biaya, antara lain untuk pembuatan silo dan bahan aditif. Diperlukan analisis efisiensi ekonomis untuk mengetahui proses pengolahan yang paling optimal dalam memamfaatkan limbah nanas tersebut yang hasilnya ditentukan oleh skala produksi.
2.4. Alur Pembuatan Serta Proses Pengolahan Limbah Nanas
Alur pembuatan limbah nanas yaitu :
Sumber : simon p. ginting dkk (2009), poerwanto (2005)
Buah nanas
(1000 kg)
Sari Nanas
(150 kg)
Kulit SPDB (850 kg)
Fermentasi
Pengeringan
Penggilingan
Kulit-SPDB (204kg)
Kulit-SPDB
Pengganti Rumput
(Pakan Komplit)
Silase Kulit-SPDB (850 kg)
Pakan Dasar
(pengganti Rumput
Proses pengolahan limbah nanas menjadi bahan pakan ternak , yaitu memiliki tiga cara yang meliputi :
a. pengeringan, kulit buah dikeringkan untuk mendapatkan kulit buah kering dangan kadar air 13% kering matahari membutuhkan waktu 3-4 jam.
b. Penggilingan, kulit buah yang telah kering digiling untuk menghasilkna tepung atau remah kulit buah yang lebih baik dibandingkan dengan tepung untuk memberi efek positif terhadap rumen,
c. Pencampuran, tepung atau remah kulit nanas kering dapat digunakan sebagai komponen pakan konsentrat ataupun pakan komplit.
Penggunaan limbah nanas sebagai bahan pakan ternak dapat digunakan sebagai sumber energy untuk kebutuhan ternak ternak ruminansia seperti kambing sedangkan penggunaannya dalam bentuk komponen konsentrat, maupun pakan komplit. Melalui data yang didapat dari departemen pertanian (2009) menyebutkan bahwa pertambahan bobot badan hewan percobaan termasuk sedang dengan konversi pakan 62 sampai 66 g, dengan konversi pakan antara 8,6- 12,2. Pertambahan bobot badan cenderung menurun dan konversi pakan cenderung semakin tinggi dengan meningkatkan taraf subtitusi hijauan dengan limbah nanas. Oleh Karena itu, taraf penggunaan limbah nanas untuk menstubsitusi hijauan perlu di tentukan perlu dipertimbangkan berdasrkan optima biologis maupun optima ekonomisnya. Adanya potensi limbah nanas untuk mensubtitusi sebagian atau seluruh komponen hijauaj dalam pakan merupakan “Nilai Nutrisi” yang dibutuhkan dalam mengembangkan system integrasi produksi ternak dengan tanaman nanas.
2.5. Batasan Penggunaan Limbah Nanas Dalam Ransum Ruminansia
Sebagai bahan pakan kulit buah nanas dapat digunakan sebanyak 10-20% dalam pakan. Penggunaan lebih 20% dapat menurunkan bobot badan. Menurut junior et al (2005), mengungkapkan bahwa limbah hasil pengolahan buah-buahan berpotnsi digunakan sebagai bahan pakan ternak ruminansia. Hasil penelitian Kellens et al (1979), menunjukkan bahwa limbah nanas mempunyai potensi besar untuk digunakan sebagai pakan ruminansia ketika disuplementasi oleh protein dan mineral. Limbah nanas beupa silase dan potongan hijauan dapat memberikan memberikan peningkatan bobot badan mencapai 0,91 kg/hari. Selanjutnya Corella et al (2006), menyebutkan bahwa penggunaan limbah nanas yang sudah dikeringkan tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap terhadap kecernaan bahan kering, protein kasar dan Neutral Detergent Fiber (NDF). Selain itu Jetana et al (2008) meneliti penggunaan silase limbah nanas pada ternak kerbau menyimpulkan bahwa pada imbangan silase limbah nanas dengan konsentrat sebesar 40:60 menghasilkan efisiensi dalam hal eksresi turunan purin dan urinper kg bahan organic tercerna yang dikonsumsi. Ginting et al (2005) menyebutkan bahwa salah satu factor pembatas dalam penggunaan limbah nanas sebagai pakan adalah kendungan protein dan NDF yang rendah sehingga disarankan penggunaannya tidak dalam bentuk tunggal. Selanjutnya, Ginting et al (2007) menyebutkan bahwa penggunaan silase limbah nanas dapat mencapai 75% dalam ransum ketika dikombinasikan dengan konsentrat.
Table penggunaann serta konversi pakan limbah nanas
penggunaan Taraf (%) PBBH (g) KP
Komponen konsentat 15-20 60-80 10-14
Komponen pakan komplit 10-15 80-105 8-10
Keterangan : PBBH : Pertambahan Bobot Badan Harian ,
KP : Konversi Pakan ( Konsumsi/ PBBH)
Dalam penelitian Makruf Tafsin Dkk (2008) tentang pemamfaatan limbah nanas yang digunakan sebagai pensubstitusi campuran rumput gajah dengan rumput kaliandra (60:40) terhadap nilai kecernaan dan Rasio Digestible Nutrient (TDN) domba local (ruminansia), menunjukkan bahwa kecernaan protein kasar mempunyai kecenderungan yang menurun dengan menggunakan limbah nanas lebih dari 10%. Kecernaan protein kasar erat kaitannya dengan keseimbangan zat makanan dalam ransum, terutama keseimbangan protein dan karbohidrat yang mudah dicerna. Keseimbangan tersebut akan mempengaruhi pola fermentasi di dalam rumen. Menurut Arora (1989), makanan yang kandungan karbohidrat mudah dicernanya tinggi akan memerlukan nitrogen (protein kasar)yang lebih tinggi untuk pertumbuhan optimum mikroorganisme. Sedangkan kecernaan serat kasar mengalami nilai yang lebih rendah. Hal ini erat kaitannya dengan dengan kandungan protein kasar yang rendah dalam ransum. Menurut Mc Donald et al (1995), protein kasar yang rendah akan menghambat mikroflora dan mikrofauna , dan akibatnya kemampuan mikroorganisme untuk mencrna serat kasar akan berkurang.
Adapun dalam pengamatan nilai kecernaan terhadap Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) menunjukkan hasil yang cukup baik dimana teradi peningkatan daya cerna sampai 40%. Pemberian ransum dengan serat kasar yang rendah secara kontinyu dapat mengadaptasikan ternak ruminansia terhadap karbohidrat yang mudah dicerna selain itu bakteri yang merombaknya juga meningkat. (Arora, 1989). Sementara nilai TDN ransum meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan limbah nanas sampai 40%. Hal ini disebabkan karena meningkatnya nilai BETN dapat dicerna walaupun nilai protein dan serat kasar menurun. Penggunaan limbah nanas sebanyak 50% menunjukkan nilai TDN yang lebih rendah dibanding dengan menggunakan limbah nanas 40%. Hal ini disebabkan penggunaan limbah nanas dapat meningkatkan kandungan karbohidrat yang mudah dicerna sehingga berakibat menurunnya kecernaan zat makanan terutama untuk protein kasar dan serat kasar. Pada penggunaan limbah nanas 50%, nilain serat kasar dan protein dapat dicerna sudah sangat rendah, sehingga nilai TDN ransum menurun. (Makruf Tafsin dkk, 2008)
Langganan:
Postingan (Atom)